Sabtu, 17 Maret 2012


Ikak G. Patriastomo (ikak@lkpp.go.id)
Pengantar
Pengadaan barang/jasa adalah salah satu isu terpenting dalam pengelolaan keuangan daerah. Kegiatan yang selalu tercantum setiap tahun dalam APBD ini sering tidak bisa terealisasi sepenuhnya karena aparatur pemerintah memiliki kekuatiran terjerat perkara korupsi. Kadangkala SKPD di Pemda tidak berani melaksanakan lelang, meskipun telah tercantum dalam APBD. Isu KKN dalam penunjukan pihak ketiga sebagai pemenang lelang, ketidakjelasan penunjukan langsung (PL), transparansi dari Pengguna Anggaran yang rendah, komisi atau fee proyek, atau hasil pelaksanaan yang tidak sesuai dengan target kinerjanya, senantiasa mengemuka di media massa. Untuk memperjelas persoalan yang sesungguhnya, pakar pengadaan barang/jasa dari Bappenas Ikak G. Patriastomo menuliskan pandangannya di Harian Media Indonesia (11/8/2008) dan disajikan kembali dalam blog ini.
Pada pidato kenegaraan tahun lalu, Presiden SBY mengajak semua pengelola pengadaan tidak takut dengan penegakan hukum melawan korupsi, khususnya di bidang pengadaan barang/jasa, selama kita merasa sudah mengikuti atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahasa yang lebih tegas adalah pengelola pengadaan tidak perlu khawatir berhubungan dengan penegak hukum selama tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan.
Acuan suatu tindakan disebut tindak pidana korupsi adalah UU No.31/1999 yang telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Peraturan yang selama ini menjadi pedoman pelaksanaan pengadaan, Keppres 80/2003, perlu dikaitkan dengan UU No.31/1999 untuk dapat efektif menghalangi tindak pidana korupsi.
Pemahaman yang luas mengenai tindak pidana korupsi dalam pengadaan adalah adanya tindakan melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian, kesalahan dalam proses pengadaan (hal ini jamak) tidak selalu dapat dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Pengadaan yang dimulai dengan satu keinginan atau niatan untuk semata-mata untuk mencapai tujuan pengadaan (tidak untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain) pasti terhindar dari tuduhan korupsi. Tetap perlu dicatat bahwa niat seperti itu masih tidak menghilangkan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses pengadaan. Dalam sistem pengadaan yang dibangun selama ini, keinginan untuk melakukan korupsi dapat ditengarai dengan tingkat transparansi yang terjadi dari suatu proses pengadaan.
Aspek transparansi dalam proses pengadan yang diatur dalam Keppres 80/2003 meliputi antara lain kewajiban mengumumkan pelelangan yang dibarengi dengan memberi waktu yang cukup bagi peserta lelang untuk mempersiapkan penawarannya.
Keppres 80/2003 sudah mengatur bahwa masyarakat dapat mengakses informasi mengenai pengadaan dan melihat hasilnya. Hasil pengadaan bukanlah sesuatu yang harus dirahasiakan. PPK wajib memberikan informasi mengenai pengadaan barang/jasa yang berada di dalam batas kewenangannya kepada masyarakat yang memerlukan penjelasan. Dengan adanya UU No.14/2008 tentang keterbukaan informasi publik (UU KIP), proses dan hasil pengadaan tidak termasuk dalam ketentuan mengenai informasi yang dikecualikan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perbuatan tidak mengumumkan proses pengadaan secara terbuka di surat kabar yang ditetapkan berdasarkan Keppres 80/2003 adalah perbuatan melawan hukum. Selama ini banyak keluhan dari panitia pengadan bahwa seringkali anggaran untuk mengumumkan pelelangan di surat kabar tidak disediakan. Pada kasus ini dapat disebut telah terjadi tindakan melawan hukum karena Pengguna Anggaran wajib menyediakan biaya pengumuman. Bahkan ada kasus, suatu instansi secara sengaja tidak menganggarkan biaya pengumuman untuk tidak memberi kesempatan pelelangan secara terbuka.
Pada tahap pelaksanaan kontrak, yang termasuk korupsi adalah perbuatan curang (misalnya mengurangi kualitas) pada waktu melaksanakan pekerjaan, atau perbuatan curang pada waktu menyerahkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jika selama ini ada kesan bahwa pelaku usaha tidak dapat dituntut secara hukum karena melakukan korupsi maka dengan ketentuan ini pelaku usaha juga dapat dituntut. Seringkali tindakan ini juga melibatkan unsur pengelola pengadaan, khususnya penerima barang atau pekerjaan.
Pengertian tindak pidana korupsi dalam pengadaan juga dapat terjadi bila terdapat perbuatan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tentunya secara melawan hukum dengan memaksa penyedia memberi sesuatu atau membayar sesuatu, misalnya komisi atau fee. Pada prinsipnya, semua komisi atau potongan yang terjadi dari suatu transaksi menjadi hak negara.
Pada kasus korupsi yang lain lagi, terdapat tindakan pegawai negeri dengan sengaja turut serta dalam pelaksanaan pekerjaan yang ditugaskan kepada yang bersangkutan untuk mengurus atau mengawasinya, yang tentunya ada keuntungan finansial bagi sirinya. Pada kasus ini, pekerjaan dikerjakan oleh sekelompok PNS namun sesungguhnya kontraknya dengan penyedia jasa. Rasanya hal-hal demikian itu kita sudah mengetahuinya.
Sumber: Harian Media Indonesia, 11 Agustus 2008.
Catatan:
Berikut ini adalah berita dari Harian Serambi Indonesia (Banda Aceh), 22/8/2008, berkaitan dengan persoalan pengadaan barang/jasa. Waktu yang terlalu panjang, yakni 45 hari, oleh pengusaha diminta untuk dipersingkat menjadi 30 hari, agar penyerapan anggaran bisa lebih baik. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, APBD dikenal dengan sebutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Bagaimana komentar anda, rekan pembaca yang terhormat?